Artikel

IMPLEMENTASI DAN TANTANGAN UNDANG – UNDANG DESA

01 Juni 2018 06:41:29  SID Kedisan  2.014 Kali Dibaca  Berita Desa

Latar Belakang
Undang-Undang Desa yang baru mengamanatkan hak dan kewajiban yang tidak ringan bagi desa. Pasal 67 ayat (1), di dalam undang-undang desa secara substansial menyebutkan bahwa desa berhak mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat, menetapkan dan mengelola kelembagaan desa, dan mendapatkan sumber pendapatan. Sementara pada ayat (2), eksplisit disebutkan bahwa kewajiban desa terdiri dari: a) melindungi dan menjaga persatuan, kesatuan serta kerukunan masyarakat desa dalam rangka kerukunan nasional dan keutuhan NKRI; b) meningkatkan kualitas masyarakat desa; c) mengembangkan kehidupan demokrasi; d) mengembangkan pemberdayaan masyarakat desa; e) memberikan dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat desa. Wewenang, hak dan kewajiban desa tersebut memunculkan banyak harapan, tantangan juga kekhawatiran yang bermuara pada tuntutan terhadap meningkatnya kapasitas penyelenggara pemerintahan desa dalam hal ini adalah pemerintah desa yang terdiri dari kepala desa dan perangkat desa. Wewenang, hak dan kewajiban desa memiliki dimensi yang luas terkait dengan pelaksanaan dan pengelolaan berbagai aspek yang melingkupinya, seperti: keuangan dan kekayaan desa, perencanaan dan anggaran desa, kebijakan desa, pelayanan desa, kepemimpinan kepala desa, kelembagaan dan perangkat desa, pemberdayaan masyarakat desa, kapasitas Badan Permusyawaratan Desa, dan aspek lain yang relevan. Problemnya adalah terdapat sinyalemen yang menunjukkan bahwa beban pemerintah desa sangat berat untuk melaksanakan amanat undang-undang desa jika melihat berbagai problematika dan kondisi pemerintahan desa dalam menjalankan hak, wewenang, dan kewajibannya. Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa merupakan kebijakan penting dan fundamental dalam tata kelola pemerintahan desa. Salah satu keputusan strategis yang dibuat oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat adalah ditetapkannya Alokasi Dana Desa dalam rangka pelaksanaan hak dan kewajiban desa. Namun demikian seiring dengan terobosan besar melalui implementasi undang-undang desa, pemerintah juga memiliki pekerjaan rumah yang tidak ringan mengingat potensi persoalan dan kegagalan yang ditimbulkan tidak kecil jika dikaitkan dengan kondisi pemerintahan desa yang umumnya masih lemah. Diakui atau tidak penyelenggaraan pemerintahan desa hingga saat ini masih memiliki banyak kelemahan dilihat dari kapasitas manajemen pemerintahan desa dan kompetensi kepala desa dan perangkat desa. Lebih jauh apabila mengacu pada amanah undangundang yang tertuang pada Pasal 24 bahwa asas penyelenggaraan pemerintahan desa mencakup: kepastian hukum, tertib penyelenggaraan pemerintahan, tertib kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efektifitas dan efisiensi, partisipatif, dan seterusnya, maka sudah seharusnya pemerintah membantu meningkatkan kapasitas pemerintahan desa agar amanat undang-undang tersebut dapat dilaksanakan dengan baik. Apabila dicermati dari substansi rincian amanah undang-undang dalam Pasal 24 tersebut dapat dikatakan bahwa amanah tersebut mengandung nilainilai good governance dan demokrasi lokal yang tinggi.

  1. Pengelolaan Keuangan Desa Dalam prosesnya, pelaksanaan UU Desa memunculkan dinamika dan permasalahan baik yang bersifat normatif maupun permasalahan operasional di lapangan. Terkait dengan pengelolaan keuangan desa, PP 60 menyebutkan bahwa pengalokasian ADD dilakukan secara proporsional dengan mempertimbangkan 4 faktor berikut: jumlah penduduk desa, angka kemiskinan desa, luas wilayah desa, dan tingkat kesulitan geografis desa. Namun dalam kenyataan di lapangan menunjukkan adanya problem. Jika tetap dipaksakan, mekanisme pembagian ADD menggunakan asas proporsionalitas, menghasilkan pembagian yang timpang dan berpotensi memicu konflik horisontal di ranah desa. Selain itu, pembagian ADD menurut asas proporsional mensyaratkan pemutakhiran dan akurasi data wilayah dan demografi dari BPS. Masalah muncul karena data yang dimiliki BPS seringkali berasal dari pendataan duadi daerah adalah data lama yang berasal dari 2-3 tahun silam. Dengan kondisi demikian, tak pelak lagi, pengelolaan keuangan desa merupakan salah satu isu krusial dalam implementasi UU Desa. Di awal-awal periode pelaksanaannya, UU Desa memunculkan kebingungan, baik di kalangan pemerintah daerah kabupaten/kota, pemerintah desa, maupun masyarakat umum. Dana desa memang sudah tersedia di kas pemerintah kabupaten/kota, namun belum bisa dicairkan karena peraturannya belum jelas dan operasional. Di satu sisi, mekanisme pencairan harus menunggu revisi peraturan PP 43 dan PP 60 yang hingga laporan ini ditulis belum tuntas. Di desa juga beredar kabar bahwa Permendagri No. 113 tentang Pengelolaan Keuangan Desa juga tengah direvisi. Di sisi lain, sebagian pemerintah daerah masih belum membuat aturan-aturan yang diperlukan, semisal Perbup atau Perda, karena menunggu peraturan yang lebih jelas dan rinci. Sementara itu, daerah sangat terbatas dengan waktu, padahal harus segara mengimplementasikan UU Desa. Baik di kalangan aparatur pemerintah daerah dan perangkat desa, muncul kesan bahwa implementasi UU Desa ini terlalu birokratis mengingat banyaknya peraturan yang harus diperhatikan untuk mencairkan dana desa. Kepala desa sering beranggapan Pemkab mempersulit pemberian dana desa. Banyak desa yang belum menyiapkan RPJMDes, APBDes, RKP Desa, sebagai persyaratan untuk mencairkan dana desa karena pembuatan semua dokumen itu mengandaikan adanya kepastian besaran jumlah dana yang akan dikelola oleh setiap desa. Desa memang mempunyai RPJMDes pola lama, tapi dengan adanya UU Desa perlu ada penyesuaian baru. Masing-masing daerah merespon secara beragam adanya kecenderungan birokratisasi yang menguat dalam aturan pengelolaan dana desa. Karena khawatir dana desa akan diselewengkan, pemerintah daerah ada yang merasa perlu untuk membentuk tim verifikasi di tingkat kecamatan dan pengawasan pembinaan oleh camat. Di beberapa daerah ada juga kencenderungan desa tidak tahu tentang pola-pola penggunaan dana desa sehingga banyak Kepala Desa yang diundang ke kejaksaan/kepolisian untuk dimintai keterangan. Persoalan ini ditanggapi secara beragam. Di Jawa Barat, Polda yang menugaskan jajaran Polres di setiap kabupaten/kota melakukan pembinaan aparatur pemerintahan desa dalam rangka menyongsong implementasi UU Desa. Hal ini bertujuan agar desa lebih waspada dalam mengoptimalkan penggunaan dana dan sesuai aturan. Persoalan lain muncul karena dalam APBD kabupaten tidak ada pos anggaran untuk membiayai kegiatan sosialisasi tentang anggaran desa. Padahal, banyak desa yang kesulitan menyusun RAPBDes karena besaran nominalnya belum pasti dan aturannya pun belum jelas. Selama ini, sebagian kecil desa sesungguhnya mempunyai sumber anggaran desa yang cukup besar dan beragam. Selain dari penghasilan asli dan swadaya masyarakat desa, aliran dana yang masuk ke dalam anggaran desa juga antara lain berasal dari dana bantuan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten, perusahaan/dana CSR, dana Parpol, hibah, dan lain-lain. Dengan sumber yang beragam tersebut, setiap desa dapat mengelola anggaran berkisar antara Rp600-800 juta. Namun, mekanisme pengaturan dan pertanggungjawabannya yang selama ini belum jelas dapat menjadi masalah di kemudian hari.
  2. Perencanaan Pembangunan Desa Isu krusial lainnya dalam rangka implementasi UU Desa adalah perencanaan pembangunan desa. Pasal 79 UU Desa antara lain menyebutkan bahwa penyusunan perencanaan pembangunan desa dilakukan dengan memperhatikan: 1) mengacu pada perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota; 2) Program Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah yang berskala lokal Desa dikoordinasikan dan/atau didelegasikan pelaksanaannya kepada Desa; 3) sebagai salah satu sumber masukan dalam perencanaan pembangunan Kabupaten/ Kota. Pasal 80 menyebutkan bahwa prioritas, program, kegiatan, dan kebutuhan pembangunan desa yang didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, swadaya masyarakat Desa, dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota ditetapkan melalu mekanisme musyawarah perencanaan pembangunan desa. Namun dalam kenyataannya di lapangan tidak semua kegiatan desa sesuai dengan perencanaan desa. Kasus yang sering terjadi justru desa membuat program tanpa memperhatikan dokumen perencanaan. Ada juga desa yang belum tahu bentuk perencanaannya akan seperti apa; apakah harus mengikuti model daftar pengeluaran anggaran (DPA, seperti di SKPD) atau model rencana anggaran belanja (RAB) saja. Berdasarkan kasus di Kabupaten Sumedang, selama ini bentuk perencanaan belanja mengikuti model RAB, tetapi pelaksanaanpembelanjaannya sering tidak sesuai. Problem juga muncul terkait dengan rancangan pembangunan kawasan perdesaan. UU Desa mengamanatkan agar rancangan pembangunan kawasan perdesaan dibahas bersama oleh Pemerintah, Pemerintah DaerahProvinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan Pemerintah Desa (Pasal 83). Hasilnya, kemudian ditetapkan oleh Bupati/Walikota sesuai dengan RPJMD Kabupaten/kota. Namun, perencanaan desa belum bisa dilakukan sepenuhnya karena perencanaan di tingkat kabupaten/provinsi sering terlambat. Padahal sejak bulan Desember, desa sudah menetapkan Perdes tentang pembangunan desa. Tidak hanya itu, sosialisasi rencana tata ruang dari atas ke bawah (provinsi-kabupaten-desa) juga kadang tidak sampai hingga ke tingkat desa, sehingga menyebabkan perencanaan desa bentrok dengan perencanaan kabupaten/provinsi. Masalah kian bertambah karena di desa sering juga dipimpin oleh figur-figur pemimpin desa yang berwawasan sempit. 3 Sesungguhnya, lemahnya koordinasi antara pemerintah desa dengan lembaga supradesa seperti yang tergambar di atas terkait dengan hubungan antara keduanya dalam konteks lebih luas yang selama ini memperlihatkan pola hubungan yang tidak “sedang baik-baik saja”. Pasal 15 dan 16 UU Desa memang mengatur hubungan pemerintah desa dengan supradesa. Dalam hal ini, UU Desa menyebutkan bahwasanya Pemerintah, Pemda Provinsi dan Pemda Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan untuk melakukan: 1) pembinaan dan pengawasan penyelanggaraan pemerintahan desa; 2) mendelegasikan pembinaan dan pengawasan kepada perangkat daerah; dan 3) memberdayakan masyarakat desa. Kenyataan di lapangan, semenjak adanya otonomi hubungan berjenjang antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, hingga ke desa, justru sering berjalan kurang lancar. Hal ini karena dalam banyak kasus seorang kepala daerah kadang-kadang masih membawa kepentingan Parpolnya sendiri. Jika dari atas hingga ke bawah Parpolnya berbeda, biasanya hubungan yang terbangun diwarnai ketegangan. Terkait perencanaan pembangunan desa, hal yang juga perlu diperhatikan di masa depan adalah seputar ketimpangan akses terhadap informasi. Berdasarkan pengalaman desa-desa di Jawa Barat, salah satu hambatan penyampaian informasi rencana pembangunan desa adalah disebabkan oleh kesenjangan pemahaman dan penerimaan informasi tentang anggaran desa. Untungnya, guna menjawab masalah ini, UU Desa sudah mengakomodasi isu mengenai pentingnya membangun sistem informasi desa. Pasal 86 antara lain menyebutkan “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengembangkan sistem informasi Desa dan pembangunan Kawasan Perdesaan”. Lebih lanjut, Pasal 86 menyebutkan agar sistem informasi desa tersebut dikelola oleh pemerintah desa dan dapat diakses oleh masyarakat desa dan semua pemangku kepentingan. Dalam hal ini, sistem informasi desa meliputi data desa, data pembangunan desa, kawasan perdesaan, serta informasi lain yang berkaitan dengan pembangunan desa dan pembangunan kawasan perdesaan. Dimensi akses terhadap informasi ini tentunya tidak bisa dipandang sebelah mata. Sistem informasi desa yang tertata dengan baik dan solid memungkinkan terwujudnya kemudahan dan pemerataan akses atas informasi yang relevan dengan pembangunan desa. Penguasaan akses informasi desa yang relatif merata dan memadai pada gilirannya akan berdampak pada peningkatan kepercayaan diri masyarakat desa untuk kemudian turut terlibat dalam pembangunan desanya. Dari segi ini, pemerataan akses informasi akan berdampak pada dua hal: penguatan demokratisasi desa dan pendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa. Dengan demikian, hal tersebut dapat menjawab problem bahwa selama ini tidak banyak desa yang mempunyai pengalaman untuk melibatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa, baik dalam tataran perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban. Dalam Pasal 80, UU No. 6/2014 sendiri secara eksplisit mengamanatkan bahwa perencanaan pembangunan desa harus mengikutsertakan masyarakat desa.
  3. Tantangan SDM Desa Dari pemaparan di atas tampak jelas bahwa yang menjadi tantangan utama di desa salah satunya adalah potensi dan kapasitas sumber daya manusia setempat yang masih minim. Hal ini tidak hanya tercermin dari sulitnya mencari figur-figur pemimpin desa yang visioner, berwawasan luas, dengan kapasitas yang mumpuni, melainkan juga problem yang kurang lebih sama terletak pada kelompok perangkat desa dengan kapasitas yang terbatas. Di Jawa Barat, misalnya, terdapat beberapa desa yang berhasil mengoptimalkan potensi sumber daya yang ada karena sejumlah faktor seperti kapasitas pemimpin, perangkat desa dan masyarakatnya, serta sebagai buah dari kolaborasinya dengan organisasi masyarakat sipil, sehingga tampil menjadi desa yang mandiri seperti desa Ciburial di Kabupaten Bandung. Namun, umumnya desa-desa di Jawa Barat masih mengalami kesulitan serius dalam menghadapi tantangan rendahnya kapasitas sumber daya manusia di pedesaan. Minimnya potensi sumber daya manusia di desa selama ini tidak mengherankan karena rata-rata tingkat pendidikan penduduk desa hanya lulusan sekolah dasar (SD). Tentunya hal ini menjadi tantangan tersendiri dalam implementasi UU Desa. Sebab, Pasal 50 UU Desa menyebutkan bahwa persyaratan perangkat desa antara lain berpendidikan minimal SMA dan berusia 20-42 tahun. Padahal selain hambatan tingkat pendidikan, berdasarkan temuan lapangan dari ketiga daerah kabupaten di Jawa Barat yang menjadi lokus kajian, selama ini posisi perangkat desa serungkali diisi oleh orang-orang yang menjelang usia pensiun. Mereka dipilih berdasarkan pertimbangan ketokohan atau pengalaman yang bersangkutan. Dinamika politik desa pun tak jarang mempengaruhi pemilihan dan pengangkatan perangkat desa. Di sejumlah desa di Jawa Barat, ada kecenderungan fenomena “ganti kepala desa, ganti perangkat”. Fenomena ini jelas merugikan desa karena pembinaan yang sudah dilakukan BPMPD selama ini menjadi siasia. Dimensi keberlanjutan program pembinaan juga menjadi terancam dan hanya menghambur-hamburkan anggaran. Apa sebenarnya yang menyebabkan desa mengalami kelangkaan sumber daya manusia yang mumpuni, termasuk untuk menjalankan pemerintahan desa? Benarkah desa tak pernah melahirkan sumber daya manusia yang mampu menjawab tantangan 4 kebutuhan pembangunan dan pemerintahan di tingkat desa? Ilmuwan sosial yang menekuni isu pedesaan umumnya berpandangan bahwa paradigma pembangunan yang cenderung “antidesa” melahirkan struktur sosial yang timpang antara desa dan kota (Lawang, 2006).

Kurangnya perhatian pemerintah dan sektor swasta pada pembangunan prasarana jalan, pendidikan, kesehatan, perbankan di daerah pedesaan, membuat desa itu menjadi tempat yang penuh masalah yang tidak teratasi. Tak heran jika kemudian desa ditinggalkan oleh orang-orang terbaik yang pernah dilahirkannya. Berpijak pada uraian di muka, beberapa rekomendasi yang perlu ditempuh bagi upaya mengoptimalkan implementasi UU Desa di masa mendatang adalah:

  1. Penataan desa perlu segera disiapkan oleh pemerintah pemerintah kabupaten/kota dengan memprioritaskan penataan sistem administrasi desa dan memasukkan agenda pengembangan kapasitas SDM untuk membangun manajemen yang efektif.
  2. Perlunya memprioritaskan pemetaan kapasitas desa untuk menentukan tipologi desa melalui penghitungan aset desa, kapasitas sumber daya manusia, jumlah dan sebaran penduduk desa, ketersediaan infrastruktur dasar bagi masyarakat desa, serta kondisi ekonomi, sosial, dan kultural masyarakat desa. Dengan demikian, perencanaan desa di masa mendatang tidak hanya sekadar mengacu pada apa yang sudah ada saat ini.
  3. Lembaga sosial supradesa (pemerintah kabupaten/kota), perlu mengoptimalkan program pendampingan desa, pemanfaatan jaringan, dan menetapkan program pembelajaran yang berkelanjutan untuk mendongkrak kapasitas dan kinerja desa dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa.
  4. Peningkatan kapasitas perangkat desa diarahkan pada dua hal pokok: 1) penguatan kapasitas dalam pemetaan sosial dan perencanaan pembangunan desa; 2) penguatan kapasitas dalam mengelola dan mengalokasikan anggaran desa untuk kepentingan masyarakat luas.
  5. Pemerintah desa perlu mengintegrasikan sistem informasi desa (SID) tidak hanya ke dalam sistem perencanaan pembangunan, tapi juga dalam pengelolaan keuangan dan aset desa. Dalam hal ini, kiranya penting bagi desa diberi kewenangan untuk membentuk unit organisasi baru yang memiliki tugas pokok dan fungsi dalam pembuatan dan pembaharuan data base desa, hingga melakukan pemantauan atas perubahan struktur geografis desa, baik karena proses alamiah atau penetrasi modal yang masuk ke desa.
  6. Partisipasi masyarakat merupakan salah satu elemen kunci dalam perumusan perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggung jawaban program pembangunan desa. Proses perencanaan desa dirumuskan melalui suatu mekanisme bertahap dan agenda panjang yang dilakukan secara kolektif-partisipatif dan inklusif, yakni mulai dari musyawarah desa, pemetaan desa, sensus, eksplorasi, pengorganisasian aset, pertemuan apresiatif, perencanaan dan penganggaran.
  7. Perencanaan daerah dan perencanaan desa mempunyai hubungan yang terkonsolidasi. Desa dalam menyusun RPJM Desa dan RKP Desa memuat program prioritas, program dan kegiatan lokal berskala desa yang akan dibiayai sendiri oleh desa. Sedangkan kabupaten/kota berkewajiban memberikan informasi tentang program dan prioritas kegiatan pembangunan daerah yang akan dilaksanakan di desa. Untuk memudahkan desa dalam mengacu program-program daerah, maka informasi perencanaan daerah yang diberikan kepada desa dibuat lebih sederhana,
  8. Dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan berskala desa, pemerintah supra desa (Kementerian/Lembaga Sektoral dan Dinas/ SKPD) hadir dalam rangka memberikan panduan (asistensi) dan dukungan (fasilitasi), misalnya melalui penyelenggaraan-penyelenggaraan pelatihan atau bantuan teknis yang dibutuhkan desa.
  9. Perlunya memperkuat musyawarah desa dengan melibatkan lebih banyak aktor dalam proses perencanaan desa. Semakin banyak aktor yang dilibatkan dalam proses perencanaan, maka hasilnya semakin legitimated. Selain melibatkan aktor-aktor yang merepresentasikan kelompok elite desa seperti pemerintah desa, BPD, tokoh agama/adat, musyawarah desa perlu melibatkan kelompok-kelompok kegiatan/kepentingan tertentu seperti kelompok tani, kelompok rentan (warga miskin, perempuan, dan penyandang disabilitas), serta organisasi masyarakat sipil yang ada di desa.  (disusun dan dipublikasikan oleh : Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah)

Kirim Komentar


Nama
No. Hp
E-mail
Isi Pesan
  CAPTCHA Image  
 

 Pelayanan Hubungi Kami

Hubungi Kami

 Media Sosial

 Pemerintah Desa

 Peta Wilayah Desa

 Agenda

Belum ada agenda

 Peta Desa

 Sinergi Program

Prodeskel Pajak Online

 Komentar

 Statistik Pengunjung

  • Hari ini:142
    Kemarin:766
    Total Pengunjung:94.621
    Sistem Operasi:Unknown Platform
    IP Address:3.144.114.8
    Browser:Mozilla 5.0